"Ketika Allah SWT menciptakan Adam, kemudian Ia anugerahkan kepadanya seorang Hawa, seorang perempuan yang diciptakan dari 'tulang rusuknya'"
Berbagai konsep mengenai persoalan perempuan bermunculan di muka bumi, seolah jika seluruh ranting dijadikan pena dan lautan dijadikan tintanya, niscaya tidak akan habis problematika perempuan ini dibahas. Perempuan kemudian menjadi subjek yang mendapat porsi kajian dan bahasan yang lebih banyak dibanding mitranya, laki-laki.
Ada sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa persoalan perempuan telah ada bahkan sejak Hawa diciptakan. Lebih ironi lagi, ketika ada pula yang menuduh bahwa Hawa adalah penyebab mengapa Adam dimurkai dan dihukum Allah hingga meninggalkan syurga. Stigma yang demikian ini tentu tidak adil bagi kaum perempuan.
Dalam lintas sejarah peradaban umat manusia, para ilmuwan kemudian menyatakan ada tiga fase yang dilalui oleh kaum perempuan, yaitu:
Pertama, fase al-ihanah (penghinaan). Kaum perempuan dipandang sebagai sampah, barang dagangan yang diperjualbelikan di pasar, sesuatu yang diwarisi dan dikawini sesuai dengan kemauan laki-laki. Oleh masyarakat Yunani kuno, kaum perempuan dilarang untuk belajar. Lain pula anggapan bangsa Romawi, mereka memposisikan kaum perempuan pada kedudukan yang sangat hina dan tidak memiliki hak atas harta dan kekayaan. Bahkan di jazirah Arab, sebelum kedatangan Islam, anak perempuan yang lahir akan dikubur hidup-hidup karena dianggap sebagai aib keluarga.
Kedua, fase al-takrim (penghormatan). Kaum perempuan dipandang sebagai mahadewi yang disembah dan dipuja. Kaum hawa hanya dijadikan 'benda' pelepas hawa nafsu laki-laki bangsawan dan hartawan. Nilai dan harga perempuan hanya diukur dengan kualitas fisik.
Ketiga, fase al-taswiyah (kesetaraan). Kaum hawa disamakan dengan kaum adam. Kemudian terjadi gerakan emansipasi yang menyetarakan kedua jenis manusia ini dalam segala hal. Pada fase ini tidak jarang agama dituduh sebagai biang kerok yang berfungsi sebagai jeruji besi bagi kebebasan kaum hawa.
Pada fase ke-3 inilah kita sekarang dihadapkan.
Bagi kaum feminis, teks- teks dalam kitab suci seringkali dituduh sebagai doktrin yang mengikat kebebasan, memenjarakan kemerdekaan dan mengungkung kaum perempuan. Para aktivis feminis menganggap tafsir agama adalah produk budaya patriarkhi yang menguntungkan kaum Adam dan merugikan perempuan. Para aktivis feminis kemudian menuntut untuk melakukan penafsiran baru dengan paradigma baru yang dinilai lebih memihak perempuan. Mereka mengkritik hukum- hukum syariat tentang jilbab, poligami, pembagian warisan, persaksian perempuan dsb.
Dengan konsep kesetaraan gender, para aktivis feminis menginginkan tidak ada lagi sekat yang membedakan peran perempuan dan laki- laki baik di ranah publik maupun dalam konteks agama. Bahkan, menurut Amina Wadud, seorang mufassir feminis kontemporer asal Amerika, seorang perempuan boleh menjadi imam sholat untuk laki-laki. Sebagaimana A'isyah ra. pernah memimpin perang Jamal melawan Saidina Ali Ibn Abi Thalib. (Tetapi, tahukah Anda, setelah perang itu, Ibunda A'isyah menyesali dan menangisi perbuatannya, lalu mengasingkan diri hingga beliau wafat di bilik beliau?).
Memang tidak dapat kita pungkiri, hari ini ketimpangan peran, kekerasan- kekerasan, dan eksploitasi- eksploitasi terhadap perempuan masih menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh. Namun demikian, agama bukanlah kambing hitam yang harus disalahkan. Al Quran, berkali- kali menegaskan bahwa kedudukan laki- laki dan perempuan adalah sama di mata Allah swt., yang membedakan keduanya hanyalah takwa. Hal ini menandakan bahwa kesetaraan kedudukan laki- laki dan perempuan telah diakui secara legal oleh Tuhan melalui kitab suci-Nya. Namun dalam Islam, kalimat pembebasan itu tidaklah berarti membiarkan perempuan berbuat sebebas- bebasnya menurut tafsir manusia, namun tetap bebas dalam koridor syariat. Kitab suci tidak hanya mengatur tentang hak- hak dan kewajiban perempuan, namun juga mengatur tentang hak-hak dan kewajiban laki-laki. Bukankah Allah Maha Adil?
Islam tidak melarang perempuan untuk mengambil peran di ranah publik. Bahkan, sejarah mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran publik bersama dengan kaum laki- laki pada masa kehidupan Nabi Muhammad. Mereka terlibat dalam diskusi tentang tema- tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan domestik maupun publik. Partisipasi perempuan juga muncul dalam proses "baiat" untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah. Nabi memperlakukan perempuan secara adil, sesuai dengan fitrah, kemampuan, serta professionalitas, yang dimiliki oleh mereka. Namun hari ini, konsep kebebasan atas nama kesetaraan gender yang ditawarkan oleh kaum feminis, telah memaksa mereka melawan kodrat, fitrah, dan penolakan terhadap hukum- hukum Tuhan sehingga tidak jarang kebebasan itu membuatnya kebablasan. Tanpa sadar, feminisme telah membawa perempuan kembali ke fase ke-2 yaitu fase al-takrim dimana nilai perempuan hanya diukur dengan kualitas fisik, bahkan kembali ke fase pertama, al-ihanah, dimana tubuh perempuan hanya dijadikan komoditas pasar untuk diperjualbelikan lewat iklan- iklan sabun kecantikan dan shampo sachet 500 perak.
Sehingga, jika hari ini kita melihat ketimpangan peran, kekerasan- kekerasan, dan eksploitasi- eksploitasi terhadap perempuan masih menyelimuti permukaan bumi, yang perlu kita perjuangkan bukanlah kesetaraan, tetapi keadilan. Tugas kita yang sekarang bukanlah memperjuangkan kesetaraan, karena Islam telah hadir dengan misi pembebasan dan pemuliaan terhadap kaum perempuan. Tugas kita yang sekarang adalah memperjuangkan keadilan setegak- tegaknya, agar perempuan dan laki- laki berkedudukan sama di mata hukum, mendapatkan hak berpolitik, berpendidikan dan kesempatan professional yang sama di ruang publik, serta hak hidup yang sama, dengan tetap berada pada koridornya.
Sambas, 07 Maret 2019.
Penulis amatir,
Penulis amatir,
@lala.ch_, Kohati Kalbar.
Komentar
Posting Komentar