*Tulisan iseng tapi serius*
Sebuah topik ringan tiba tiba menjadi bahan diskusi kami pada malam itu. Mengenai fenomena anak alay yang disebut sebagai ancaman kekinian bangsa Indonesia. Lantas, ada yang bertanya, "Kenapa anak alay dikatakan menjadi ancaman, padahal alay 'kan hal yang biasa". Sebuah pertanyaan yang sederhana sebenarnya, namun beberapa pertanyaan selanjutnya memancing sedikit perdebatan, mungkin karena pembelaan diri agar sebisa mungkin tidak termasuk ke dalam kategori bangsa alay yang dimaksud. 😅😂
Yup, karena kita sudah terbiasa memaklumi hal yang salah, sehingga kita tidak sadar bahwa kita telah membiarkan bibit-bibit kehancuran generasi tumbuh tepat di depan hidung kita sendiri. Banyak hal yang dulunya tabu menjadi hal yang very ordinary so much, saking "sangat biasa". Contoh kecil misalnya, dulu kita malu banget bergaya narsis kalo lagi difoto, namun sekarang, kita malah suka upload foto selfie dengan bibir dimonyongin, lidah dijulurin, muka diimut-imutin, mata dimerem-meremin dan itu sehari tiga puluh kali seperti mengkonsumsi obat. Supaya apalah apalah apalah?
Lalu, pertanyaan selanjutnya, "Siapa yang dimaksud sebagai generasi alay? Apa yang menjadi tolok ukur dan bagaimana kriterianya?"
Menurut saya, generasi alay adalah generasi penganut paham narsisme akut, yang terobsesi untuk mencari perhatian, pujian, popularitas, kadang-kadang mereka melakukan hal-hal di luar akal sehat seorang manusia. Mereka menjadi korban arus tren kekinian, menyerap budaya luar, bahkan budaya yang tidak jelas dari planet mana, tanpa memfilter baik-buruknya. Semua aktivitas alay-isme yang mereka lakukan semata-mata demi kesenangan, eksistensi, popularity, tanpa mempertanyakan manfaat dan esensi dari aktivitas tersebut. Gaya hidup hedonis seperti inilah yang akhirnya membuat moral anak bangsa semakin porak-poranda. Parahnya lagi, syndrom alay-isme ini tidak hanya menyerang generasi muda, bahkan guru, dosen, pejabat, public figur yang notabene menjadi panutan, menjadikan fenomena ini terlihat semakin miris.
Bagaimana kita akan menjadi bangsa yang beradab jika generasi mudanya suka banget foto sambil monyong-monyongin bibir, kecanduan tik-tok, tanpa empati dengan sellownya berfoto selfie di antara korban kecelakaan maut yang korbannya masih berdarah-darah, joget-joget berjamaah mulai dari gaya bebek hingga gaya gergaji, alis ditebang, bibir disulam, sekalian saja matanya dicongkel. Lain lagi misalnya, beberapa waktu yang lalu, seorang ulama Madinah, Syeikh Sulaiman ar-Ruhaily, secara terang-terangan mengkritik fenomena selfie jamaah haji Indonesia. Apa gak malu kita terhadap dunia international?
Sehingga, dalam hemat saya, generasi alay ini bisa dikatakan sebagai generasi yang tidak siap mental dalam menghadapi modernitas, yang dapat menyerang semua kalangan, baik remaja maupun orang dewasa, baik kaum adam maupun kaum hawa, baik pejabat maupun rakyat jelata. Mereka latah mengikuti zaman, tanpa berbekal kebijaksanaan untuk memilahnya.
Lalu, apa yang menjadi tolok ukur alay-isme?
Sebetulnya, tolok ukur untuk menilai alay-isme ini tidak rumit. Sederhananya, kita cukup berpedoman kepada nilai-nilai kearifan lokal bangsa kita yang diatur oleh norma agama, norma masyarakat serta falsafah budaya timur yang menjadi budaya bangsa Indonesia. Yaitu ketika rasa malu dan empati tergantikan oleh narsisme dan riya', disitulah alay-isme berada.
Sebetulnya, tolok ukur untuk menilai alay-isme ini tidak rumit. Sederhananya, kita cukup berpedoman kepada nilai-nilai kearifan lokal bangsa kita yang diatur oleh norma agama, norma masyarakat serta falsafah budaya timur yang menjadi budaya bangsa Indonesia. Yaitu ketika rasa malu dan empati tergantikan oleh narsisme dan riya', disitulah alay-isme berada.
Bagaimana kriterianya?
Nah, jika Andrea Hirata membagi macam-macam kegilaan pada manusia sampai berpuluh-puluh tipe, saya cukup membagi alay-isme ini menjadi tiga tipe saja.
Nah, jika Andrea Hirata membagi macam-macam kegilaan pada manusia sampai berpuluh-puluh tipe, saya cukup membagi alay-isme ini menjadi tiga tipe saja.
Yang pertama adalah alay stadium awal. Pada stadium ini, seseorang telah kehilangan rasa malunya. Indikasinya misalnya kecanduan selfie dengan gaya nyeleneh dan kerajingan upload status dari urusan pribadi sampai ngomongin teman sendiri. Alay tipe ini biasanya bisa sembuh pada waktunya, namun jika tidak, biasanya akan taubat di akhir hayatnya, ehh?
Yang kedua, yaitu alay stadium menengah. Pada stadium ini, seseorang telah kehilangan empatinya. Contohnya adalah mereka yang menjadikan momen tragis seperti kecelakaan, kematian, kebakaran, dll untuk mencari sensasi. Mereka kehilangan nalar sehat, sehingga alay stadium ini bisa disembuhkan melalui pemahaman toleransi, empati, dan pendidikan moral dan pancasila. Kalau tidak mempan, boleh memakai metode rukiah, barangkali?
Yang terakhir adalah alay stadium akut. Pada stadium ini, mereka telah kehilangan jati dirinya. Aktivitas alay-isme mereka tidak hanya membahayakan kejiwaan mereka sendiri tetapi sudah pada tahap meresahkan masyarakat. Misalnya gaya hidup anak punk yang bergaya kebarat-baratan padahal logat bicaranya masih medok banget. Termasuk dalam tipe ini adalah mereka yang bangga menjadi begal, memalak, membacok, dan yang bikin ngerinding, anggota barunya ditest makan makanan sisa dari tong sampah.
Jika pada stadium menengah, kaum alay kehilangan nalar sehat, pada stadium akut, kaum alay bahkan bahkan kehilangan akal sehat. Misalnya, laki-laki transgender tiba-tiba memberitakan dirinya datang bulan, hamil dsb. Obsesi yang berlebihan. Alay stadium akut ini bisa diatasi melalui sinergitas masyarakat dan pemerintah. Baik melalui penertiban oleh pemerintah, undang-undang, serta sanksi moral bagi pelaku. Termasuk dalam alay tipe ini adalah mereka yang mendukung tumbuh suburnya LGBT di Indonesia. Untuk tipe yang terakhir tersebut, mereka bisa disembuhkan melalui hidayah. Jika tidak, lebih baik dideportasi ke bulan atau dikirim ke segitiga bermuda demi kemashlahatan bangsa Indonesia.
Demikianlah tipe-tipe generasi alay di negeri tercinta Indonesia. Kamu termasuk tipe yang mana? Hayoo..
Perlu kita sadari bersama bahwa virus alay-isme ini tentu akan tetap ada selama bibit-bibitnya masih dibiarkan tumbuh subur di tanah air. Salah satu sumbernya adalah sinetron-sinetron yang jauh dari nilai-nilai moral dan akhlaq, tayangan televisi yang menyesatkan dan sama sekali tidak mendidik, aplikasi-aplikasi nyeleneh yang membuat penggunanya berlaku nyeleneh pula, dsb. Oleh sebab itu, mulai sekarang jagalah adik-adik kita dari bibit-bibit alay-isme tersebut. Yang tak kalah penting adalah berikan teladan yang baik. Karena fenomena alay-isme remaja saat ini bisa jadi juga dikarenakan oleh degradasi keteladanan yang diberikan oleh seorang pendidik, public figur, serta orang yang menjadi panutannya.
Generasi milenial sepatutnya bukanlah generasi alay, melainkan generasi yang modernis cara berpikirnya, yang menjadi harapan bagi masa depan bangsa.
Akhir kata, sebagai closing statement dari tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah hadis Rasullullah yang isinya:
"Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu"
(HR.Ibnu Maajah dan ath-Thabraani)
"Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu"
(HR.Ibnu Maajah dan ath-Thabraani)
Sambas, 09 Juni 2019 / 24 Ramadhan 1439 H
------------------------ sekian ------------------------
------------------------ sekian ------------------------
Komentar
Posting Komentar