Mengenang Kepergian Achmad Budi Cahyono: Guru, Seniman, Alumni HMI. |
Tragedi yang dialami guru Budi ini tentu menjadi pelajaran berharga untuk kita semua. Bagaimana kemudian, kasus ini memberikan kenyataan yang gamblang sekaligus mengerikan, bahwa saat ini generasi muda bangsa ini telah krisis etika dan adab sopan santunnya, telah krisis moralnya, dan telah krisis akhlaknya.. generasi muda bangsa ini telah krisis budi pekertinya..
Tragedi guru Budi mungkin memang yang pertama di Indonesia, namun kasus-kasus memilukan yang seperti ini bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan kita. Di awal Februari tahun 2017 yang lalu misalnya, kita digegerkan oleh kenekatan seorang siswa di Bekasi menyerang kepala sekolah dengan menggunakan celurit. Di bulan yang sama pula, seorang siswa STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) Marunda dikabarkan tewas akibat dipukul oleh 5 orang kakak seniornya. Dan masih banyak sekali kasus-kasus yang menjadi potret buram pendidikan di Indonesia.
Ironis sekali. Mestinya, ditengah carut-marut kondisi bangsa Indonesia, pendidikan seharusnya menjadi harapan yang kita miliki untuk menyelamatkan moral anak bangsa. Mestinya, sekolah menjadi tempat yang tepat untuk merawat masa depan generasi muda. Tetapi, kekerasan demi kekerasan terus terjadi di dunia sekolah. Kasus-kasus bulliying seakan menemui jalan buntu untuk dituntaskan. Lain lagi, pelecehan seksual, penganiayaan guru kepada murid, murid kepada guru, wali murid kepada guru, tawuran, seakan-akan bangsa ini sudah tidak memiliki harapan lagi.
Achmad Budi Cahyono, Guru Honorer Pelajaran Seni Rupa SMA Negeri 1 Torjun, Sampang. |
Lantas, sebenarnya apa yang salah?
Rumit untuk menjawab pertanyaan ini. Karena seluruh persoalan yang mendera dunia pendidikan tidak sesederhana mengajarkan anak SD berhitung perkalian. Permasalahan ini begitu kompleks, sehingga harus dirajut satu persatu. Mulai dari sistem yang diterapkan, kebijakan-kebijakan pendidikan yang diberlakukan, pengaruh globalisasi yang secara kuat mengubah tatanan sosial dan budaya masyarakat, hingga persoalan politik tingkat atas yang kemudian menjadikan pendidikan sebagai salah satu korbannya.
Banyak yang berpendapat bahwa kemerosotan akhlak peserta didik saat ini disebabkan karena sistem pendidikan sekarang yang terlalu memanjakan. Lalu, masyarakat pun mulai membanding-bandingkan sistem pendidikan dahulu dengan sistem pendidikan yang berlaku saat ini. Yaitu, ketika dulu seorang guru sah-sah saja memukul siswanya untuk memberi pelajaran, namun sekarang bahkan memotong kuku seorang siswa dapat dikenai sanksi pidana. Sehingga, masyarakat awam pun menilai, sistem pendidikan dahulu jauh lebih membentuk karakter dibanding sistem pendidikan sekarang meskipun diiming-imingi berbasis karakter. Namun, tidaklah bijak membenarkan kekerasan apapun alasannya. Namun, terlalu berlebihan pula mempidanakan seorang guru hanya karena mencubit siswanya yang nakal. Dan memilukan sekali ketika kita menyaksikan seorang guru honorer ditarik paksa jilbabnya, kemudian dicukur rambutnya oleh wali murid di hadapan khalayak ramai, hanya karena sang ayah tidak terima dengan sanksi yang sang guru berikan kepada anaknya.
Berbagai kurikulum ditawarkan untuk mengatasi permasalahan pendidikan nyatanya tidak menjadi solusi bagi permasalahan paling krusial bangsa ini, yaitu krisis moral. Kenapa? Karena pada kenyataannya kurikulum-kurikulum tersebut diubah sebatas nama, tanpa mengubah konsepnya. Tidak mengherankan, jika kemudian pendidikan dijadikan lahan bisnis bagi oknum-oknum tertentu. Inilah konsekuensinya jika sistem pendidikan dijadikan alat pemuas kekuasaan. Selama pendidikan masih menjadi korban politik, mustahil untuk mencapai esensi pendidikan itu sendiri. Sistem yang rusak akan melahirkan generasi yang rusak pula.
Semoga kematian bapak Ahmad Budi Cahyono menguatkan tekad kita untuk memperbaiki dunia pendidikan agar lebih beradab: beriman, bertaqwa, dan berakhlaq. Agar cita-cita luhur kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak sebatas teks kenegaraan yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sambas, 05 Februari 2018.
by Lala, Aktivis HMI.
Komentar
Posting Komentar