Langsung ke konten utama

Tragedi Guru Budi dan Potret Buram Pendidikan Kita




Mengenang Kepergian Achmad Budi Cahyono: Guru, Seniman, Alumni HMI.
Kamis, 1 Februari 2018. Dunia pendidikan Indonesia kembali mencatat rapor merah yang tragis lagi memilukan. Seorang guru honorer di Sampang, Madura, dijemput ajal setelah dianiaya oleh MH, yang tidak lain adalah anak didiknya sendiri. Bapak Ahmad Budi Cahyono, seorang guru muda yang juga mantan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Kamis itu menghembuskan nafas terakhirnya di RSUD Dr. Soetomo setelah mengalami mati batang otak akibat dipukul berkali-kali di bagian kepala.
Tragedi yang dialami guru Budi ini tentu menjadi pelajaran berharga untuk kita semua. Bagaimana kemudian, kasus ini memberikan kenyataan yang gamblang sekaligus mengerikan, bahwa saat ini generasi muda bangsa ini telah krisis etika dan adab sopan santunnya, telah krisis moralnya, dan telah krisis akhlaknya.. generasi muda bangsa ini telah krisis budi pekertinya..

Tragedi guru Budi mungkin memang yang pertama di Indonesia, namun kasus-kasus memilukan yang seperti ini bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan kita. Di awal Februari tahun 2017 yang lalu misalnya, kita digegerkan oleh kenekatan seorang siswa di Bekasi menyerang kepala sekolah dengan menggunakan celurit. Di bulan yang sama pula, seorang siswa STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) Marunda dikabarkan tewas akibat dipukul oleh 5 orang kakak seniornya. Dan masih banyak sekali kasus-kasus yang menjadi potret buram pendidikan di Indonesia.

Ironis sekali. Mestinya, ditengah carut-marut kondisi bangsa Indonesia, pendidikan seharusnya menjadi harapan yang kita miliki untuk menyelamatkan moral anak bangsa. Mestinya, sekolah menjadi tempat yang tepat untuk merawat masa depan generasi muda. Tetapi, kekerasan demi kekerasan terus terjadi di dunia sekolah. Kasus-kasus bulliying seakan menemui jalan buntu untuk dituntaskan. Lain lagi, pelecehan seksual, penganiayaan guru kepada murid, murid kepada guru, wali murid kepada guru, tawuran, seakan-akan bangsa ini sudah tidak memiliki harapan lagi.

Achmad Budi Cahyono, Guru Honorer Pelajaran Seni Rupa SMA Negeri 1 Torjun, Sampang.
Entah harus berapa banyak korban lagi yang terenggut nyawanya? Harus berapa banyak lagi mereka yang bernasib seperti Amir? Seperti guru Budi?
 
Lantas, sebenarnya apa yang salah?

Rumit untuk menjawab pertanyaan ini. Karena seluruh persoalan yang mendera dunia pendidikan tidak sesederhana mengajarkan anak SD berhitung perkalian. Permasalahan ini begitu kompleks, sehingga harus dirajut satu persatu. Mulai dari sistem yang diterapkan, kebijakan-kebijakan pendidikan yang diberlakukan, pengaruh globalisasi yang secara kuat mengubah tatanan sosial dan budaya masyarakat, hingga persoalan politik tingkat atas yang kemudian menjadikan pendidikan sebagai salah satu korbannya.

Banyak yang berpendapat bahwa kemerosotan akhlak peserta didik saat ini disebabkan karena sistem pendidikan sekarang yang terlalu memanjakan. Lalu, masyarakat pun mulai membanding-bandingkan sistem pendidikan dahulu dengan sistem pendidikan yang berlaku saat ini. Yaitu, ketika dulu seorang guru sah-sah saja memukul siswanya untuk memberi pelajaran, namun sekarang bahkan memotong kuku seorang siswa dapat dikenai sanksi pidana. Sehingga, masyarakat awam pun menilai, sistem pendidikan dahulu jauh lebih membentuk karakter dibanding sistem pendidikan sekarang meskipun diiming-imingi berbasis karakter. Namun, tidaklah bijak membenarkan kekerasan apapun alasannya. Namun, terlalu berlebihan pula mempidanakan seorang guru hanya karena mencubit siswanya yang nakal. Dan memilukan sekali ketika kita menyaksikan seorang guru honorer ditarik paksa jilbabnya, kemudian dicukur rambutnya oleh wali murid di hadapan khalayak ramai, hanya karena sang ayah tidak terima dengan sanksi yang sang guru berikan kepada anaknya.

Berbagai kurikulum ditawarkan untuk mengatasi permasalahan pendidikan nyatanya tidak menjadi solusi bagi permasalahan paling krusial bangsa ini, yaitu krisis moral. Kenapa? Karena pada kenyataannya kurikulum-kurikulum tersebut diubah sebatas nama, tanpa mengubah konsepnya. Tidak mengherankan, jika kemudian pendidikan dijadikan lahan bisnis bagi oknum-oknum tertentu. Inilah konsekuensinya jika sistem pendidikan dijadikan alat pemuas kekuasaan. Selama pendidikan masih menjadi korban politik, mustahil untuk mencapai esensi pendidikan itu sendiri. Sistem yang rusak akan melahirkan generasi yang rusak pula.

Semoga kematian bapak Ahmad Budi Cahyono menguatkan tekad kita untuk memperbaiki dunia pendidikan agar lebih beradab: beriman, bertaqwa, dan berakhlaq. Agar cita-cita luhur kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak sebatas teks kenegaraan yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Selamat jalan kanda.. insyaAllah syahid jalanmu.. selalu harum namamu..Al Fatihah..

Sambas, 05 Februari 2018.
by Lala, Aktivis HMI.

Komentar

Popular Posts

APAKAH KITA PERLU MEMPERJUANGKAN KESETARAAN?

"Ketika Allah SWT menciptakan Adam, kemudian Ia anugerahkan kepadanya seorang Hawa, seorang perempuan yang diciptakan dari 'tulang rusuknya'" Berbagai konsep mengenai persoalan perempuan bermunculan di muka bumi, seolah jika seluruh ranting dijadikan pena dan lautan dijadikan tintanya, niscaya tidak akan habis problematika perempuan ini dibahas. Perempuan kemudian menjadi subjek yang mendapat porsi kajian dan bahasan yang lebih banyak dibanding mitranya, laki-laki. Ada sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa persoalan perempuan telah ada bahkan sejak Hawa diciptakan. Lebih ironi lagi, ketika ada pula yang menuduh bahwa Hawa adalah penyebab mengapa Adam dimurkai dan dihukum Allah hingga meninggalkan syurga. Stigma yang demikian ini tentu tidak adil bagi kaum perempuan.  Dalam lintas sejarah peradaban umat manusia, para ilmuwan kemudian menyatakan ada tiga fase yang dilalui oleh kaum perempuan, yaitu: Pertama, fase al-ihanah (penghinaan). Kaum perempuan dipandang...

Wacana Menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Menjaga Kedaulatan Laut Indonesia dari Beranda NKRI

Indonesia merupakan negara maritim dengan wilayah laut terbesar di dunia. Persentase laut dan daratan adalah sebesar 70:30. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar pada sektor laut. Sehingga wacana menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia bukanlah isapan jempol belaka. Alfred Thayer Mahan, seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat, dalam bukunya “The Influence of Sea Power up History” mengemukakan teori bahwa sea power merupakan unsur terpenting bagi kemajuan dan kejayaan suatu negara, yang mana jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diberdayakan, maka akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Sebaliknya, jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan akan berakibat kerugian bagi suatu negara atau bahkan meruntuhkan negara tersebut.  Kekuatan-kekuatan laut yang dimiliki Indonesia, memiliki potensi besar untuk mengembangkan pembangunan ekonomi dalam sector kelautan, maritim, dan perikanan. Potensi-potensi ini antar...